Jumat, 02 Agustus 2013

Sistem Multi Partai Sederhana



Menurut Pennings sistem kepartaian dapat didefinisikan sebagai struktur kompetisi dan kerjasama partai politik. Istilah sistem kepartaian pada awalnya ditemukan dalam karya Duverger tentang ‘Political Parties’ untuk menggambarkan corak partai politik di beberapa negara.[1] Sistem kepartaian dapat dilihat dari relasi antara karekteristik tertentu dalam partai politik, diantaranya jumlah, ukuran perspektif, sekutu, lokasi geografis, distribusi politik dan sebagainya.
Sebagai suatu struktur maka untuk menilai suatu sistem kepartaian harus melihat sebuah partai sebagai suatu unit yang berhubungan dengan partai yang lain, jadi sistem kepartaian melihat partai bukan sebagai entitas yang terisolasi. Pada sistem kepartaian, partai adalah entitas yang saling berinteraksi satu sama lainnya.
Dalam upaya memahami sistem kepartaian telah banyak pendekatan yang berusaha dikembangakan. Secara garis besar setidaknya terdapat 4 (empat) pendekatan dalam memahami sistem kepartaian disebuah negara, yaitu :[2]
1.      Berdasarkan Jumlah
Menentukan sistem kepartaian berdasarkan jumlah merupakan pendekatan yang paling banyak diterima secara luas untuk digunakan dalam deskriptif komparatif tentang sistem kepartaian. Berdasarkan pendekatan ini sistem kepartaian dibedakan menjadi sistem partai tunggal, sistem dua partai dan sistem multi partai.
Pada pendekatan ini terdapat beberapa variasi dalam menentukan jumlah partai yang relevan di parlemen. Alan Ware dalam Sigit Pamungkas meniadakan semua partai dengan kurang dari 3%. Di Indonesia pada tahun 2009 juga menggunakan variasi bahwa partai yang memperoleh suara dibawah 2.5% ditiadakan dari parlemen.
                       
2.      Berdasarkan Kekuatan Relatif dan besaran Partai
Melalui pendekatan ini sistem kepartaian dibedakan menjadi sistem dua partai, sistem dua setengah partai, sistem multi partai dengan sebuah partai utama dan sistem multi partai tanpa partai utama. Tipologi diperoleh dengan memperhatikan bagian rata-rata suara yang dimenangkan oleh dua partai terbesar dan kemudian mempertimbangkan perbandingan bagian partai pertama pada partai kedua dan ketiga.
Sistem dua partai apabila terdapat 2 (dua) partai yang memiliki suara lebih dari 40%, sistem dua setengah partai adalah ketika bagian dari dua partai bergerak dari 75%-80% suara tapi diantara keduanya terdapat perbedaan rata-rata yang besar hingga 10%. Sistem multipartai dengan partai dominan adalah ketika terdapat satu partai besar yang memperoleh suara lebih dari 40% sedangkan yang lainnya dibawah 40%, dan sistem multipartai tanpa partai dominan adalah apabila tidak ada partai politik yang mencapai angka 40% perolehan suara.[3]
3.      Berdasarkan Formasi Pemerintahan
Berdasarkan pendekatan ini, Dahl mengklasifikasikan sistem kepartaian berdasarkan pola koalisi dan oposisi partai. Berdasarkan pola oposisi partai di arena electoral dan legislative, terdapat 4 (empat) skema sistem kepartaian, yaitu pola oposisi dengan (1) strictly competitive, (2) cooperative and competitive, (3) coalescent and competitive dan (4) strictly coalescent.

4.      Berdasarkan Kekuatan Relatif  dan Jarak Ideologi
Kriteria sistem kepartaian berdasarkan jumlah tetap penting tetapi harus diingat sejauhmana partai itu mempengaruhi efek dalam kompetisi partai. Partai yang kursinya tidak pernah dibutuhkan dianggap tidak relevan. Sementara itu partai, besar atau kecil menjadi relevan ketika keberadaan mereka mengubah arah kompetisi partai ke arah kiri atau kanan.
Sartori membagi sistem kepartaian berdasarkan pendekatan ini menjadi 7 kategori yang dapat dirangkum kedalam 2 kategori besar, yaitu Pertama, sistem non kompetitif meliputi sistem partai tunggal dan partai hegemonik seperti yang pernah terjadi saat Orde Baru. Kedua adalah sistem kompetitif yang terdiri dari sistem dua partai, pluralisme terbatas/ moderat, pluralism ekstrim, dan atomik. Dalam sistem ini negara melalui konstitusi melindungi hak-hak partai politik untuk menjalankan fungsinya.[4]

Mainwaring berpendapat bahwa negara yang memakai sistem pemerintahan presidensiil seperti Indonesia tidak cocok menggunakan sistem multi partai,[5] karena Pertama, presidensialisme multi partai cenderung menghasilkkan imobilitas dan jalan buntu (deadlock) antara eksekutif dengan legislatif yang itu kemudian membuat destabilitas demokrasi. Kedua, multi partai menghasilkan polarisasi ideologi dari pada bipartai. Ketiga, dalam presidensialisme multi partai akan kesulitan membangun koalisi inter partai.
Sehingga dari beberapa sistem kepartaian diatas, sistem yang paling ideal untuk diterapkan di Indonesia adalah sistem yang jumlah partai tidak boleh terlalu banyak, akan tetapi karena melihat keberagaman yang ada di Indonesia maka sistem dua partai akan sulit untuk dibuat, sehingga jalan tengah dari kedua pertentangan tersebut maka dibentuklah sistem multi partai sederhana karena sistem tersebut yang paling cocok untuk Indonesia.
Sistem multi partai sederhana mengarah kepada sistem kepartaian yang bersifat kompetitif. Artinya Indonesia tidak menerapkan partai tunggal dan mencegah adanya partai yang menghegemonik. Menurut Ganjar Pranowo sistem multi partai sederhana jumlah partai tidak kurang dari 5 dan tidak boleh lebih dari 10. Selain itu sistem multi partai akan efektif apabila walaupun terdapat banyak partai akan tetapi yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan hanya beberapa partai saja, dengan kata lain koalisi diparlemen sangat dibutuhkan untuk pengambilan keputusan.[6]
Dari beberapa argumentasi tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri sistem multi partai sederhana (1) Sistem kepartaian yang bersifat kompetitif, (2) Jumlah partai politik yang terdapat diparlemen  hanya sekitar 5 partai saja, (3) Walau ada banyak jumlah partai di parlemen tapi hanya beberapa partai saja yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen.  
Guna mencapai hal tersebut diperlukanlah metode pembentukan sistem kepartaian. Pembentukan sistem kepartaian dapat dilakukan dengan pendekatan institusional. Pendekatan ini dibangun dengan asumsi utama bahwa sistem kepartaian dikonstruksi oleh desain sistem Pemilu yang dikenal dengan pendekatan Duverger atau dapat pula dibentuk melalui pendekatan sosiologis dengan kondisi yang terbentuk di masyarakat. [7]
Perubahan sistem multi partai melalui desain sistem Pemilu dapat dilakukan dengan beberapa cara. Merubah persyaratan maupun penerapan ambang batas merupakan beberapa cara yang dapat dilakukan. Pengetatan persyaratan dan penerapan electoral threshold diterapkan bertujuan untuk membuat peserta Pemilu menjadi lebih sedikit dan akan berdampak pula pada partai yang akan lolos dan mendapat kursi di parlemen. Sehingga dengan demikian akan dapat merubah sistem kepartaian yang ada berdasar jumlah fraksi yang ada.







[1] Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktek di Indonesia, Op.cit, hal 42
[5] Mainwaring, Presidentialisme, Multy Party System and Democracy, di dalam  Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktek di Indonesia, Op.cit, hal 55
[6] Wawancara dengan Bapak Ganjar Pranowo, Op.cit
[7] Duverger Maurice, Partai Politik dan Kelompok Penekan, didalam Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktek di Indonesia, Op.cit, hal 51

Tidak ada komentar: