Selasa, 13 Agustus 2013

KEABSAHAN SURAT PERNYATAAN TIDAK AKAN KAWIN ATAU PERATURAN LARANGAN KAWIN



KEABSAHAN SURAT PERNYATAAN TIDAK AKAN KAWIN/ PERATURAN LARANGAN KAWIN

Beberapa hari yang lalu setelah lebaran Idul Fitri kebetulan waktu halal-bihalal banyak bertemu kerabat dan teman-teman yang baru lulus kuliah, saya banyak mendapatkan pertanyaan terkait kontrak kerja yang baru saja mereka sepakati dengan pihak perusahaan. Mulai dari waktu libur hingga larangan kawin selama beberapa tahun/ selama kontrak kerja. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini saya akan membahas terkait surat pernyataan larangan kawin yang dibuat oleh pegawai.
Jika ditinjau dari segi hukum secara komprehensif dan sistematis maka permasalahan ini tidak hanya dilihat dari pasal 1320 KUHPerdata terkait syarat sah suatu perjanjian, akan tetapi juga harus melihat dari objek yang diperjanjikan. Objek yang diperjanjikan pada pernyataan itu adalah mengenai “KAWIN” yang itu dijamin oleh Pasal 28 B ayat (1) UUDNRI 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 28B ayat (1) UUDNRI 1945 menyebutkan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” dan Pasal 10 UU 39 Nomor 1999 menyebutkan “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan suatu keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Apabila kita melihat pada syarat sah suatu perjanjian pada pasal 1320 KUH Perdata tentu surat pernyataan ini juga tidak dapat dibenarkan. Syarat subjektif berupa “kesepakatan” antara kedua belah pihak dapat dikatakan tidak sah apabila surat tersebut dibuat dibawah tekanan dan/atau paksaan. Begitu pula dengan syarat objektif berupa “kausa yang halal” juga tidak dapat dikatan sah karena objek yang diperjanjikan bertentangan dengan pasal 28B UUD 1945 dan UU tentang Hak Asasi Manusia.
Sehingga boleh saja pegawai menikah saat masa kerja karena perjanjian yang telah dibuat mengenai larangan kawin tidak sah karena tidak memenuhi syarat subyektif dan objektif. Bahkan pegawai dapat menuntut secara perdata dengan didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum (PMH) pasal 1365 KUH Perdata. PMH menurut Rosa Agustina dalam bukunya menyebutkan bahwa PMH adalah Perbuatan yang menyebabkan kerugian tidak hanya kerugian materiil tapi juga kerugian moril dan idiil yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup (dasar Putusan Hoge Raad tgl 21 Maret 1943). Kalo masih kurang puas dengan tuntutan perdata kalian juga dapat melaporkan pada Komnas HAM.

Jumat, 02 Agustus 2013

Sistem Multi Partai Sederhana



Menurut Pennings sistem kepartaian dapat didefinisikan sebagai struktur kompetisi dan kerjasama partai politik. Istilah sistem kepartaian pada awalnya ditemukan dalam karya Duverger tentang ‘Political Parties’ untuk menggambarkan corak partai politik di beberapa negara.[1] Sistem kepartaian dapat dilihat dari relasi antara karekteristik tertentu dalam partai politik, diantaranya jumlah, ukuran perspektif, sekutu, lokasi geografis, distribusi politik dan sebagainya.
Sebagai suatu struktur maka untuk menilai suatu sistem kepartaian harus melihat sebuah partai sebagai suatu unit yang berhubungan dengan partai yang lain, jadi sistem kepartaian melihat partai bukan sebagai entitas yang terisolasi. Pada sistem kepartaian, partai adalah entitas yang saling berinteraksi satu sama lainnya.
Dalam upaya memahami sistem kepartaian telah banyak pendekatan yang berusaha dikembangakan. Secara garis besar setidaknya terdapat 4 (empat) pendekatan dalam memahami sistem kepartaian disebuah negara, yaitu :[2]
1.      Berdasarkan Jumlah
Menentukan sistem kepartaian berdasarkan jumlah merupakan pendekatan yang paling banyak diterima secara luas untuk digunakan dalam deskriptif komparatif tentang sistem kepartaian. Berdasarkan pendekatan ini sistem kepartaian dibedakan menjadi sistem partai tunggal, sistem dua partai dan sistem multi partai.
Pada pendekatan ini terdapat beberapa variasi dalam menentukan jumlah partai yang relevan di parlemen. Alan Ware dalam Sigit Pamungkas meniadakan semua partai dengan kurang dari 3%. Di Indonesia pada tahun 2009 juga menggunakan variasi bahwa partai yang memperoleh suara dibawah 2.5% ditiadakan dari parlemen.
                       
2.      Berdasarkan Kekuatan Relatif dan besaran Partai
Melalui pendekatan ini sistem kepartaian dibedakan menjadi sistem dua partai, sistem dua setengah partai, sistem multi partai dengan sebuah partai utama dan sistem multi partai tanpa partai utama. Tipologi diperoleh dengan memperhatikan bagian rata-rata suara yang dimenangkan oleh dua partai terbesar dan kemudian mempertimbangkan perbandingan bagian partai pertama pada partai kedua dan ketiga.
Sistem dua partai apabila terdapat 2 (dua) partai yang memiliki suara lebih dari 40%, sistem dua setengah partai adalah ketika bagian dari dua partai bergerak dari 75%-80% suara tapi diantara keduanya terdapat perbedaan rata-rata yang besar hingga 10%. Sistem multipartai dengan partai dominan adalah ketika terdapat satu partai besar yang memperoleh suara lebih dari 40% sedangkan yang lainnya dibawah 40%, dan sistem multipartai tanpa partai dominan adalah apabila tidak ada partai politik yang mencapai angka 40% perolehan suara.[3]
3.      Berdasarkan Formasi Pemerintahan
Berdasarkan pendekatan ini, Dahl mengklasifikasikan sistem kepartaian berdasarkan pola koalisi dan oposisi partai. Berdasarkan pola oposisi partai di arena electoral dan legislative, terdapat 4 (empat) skema sistem kepartaian, yaitu pola oposisi dengan (1) strictly competitive, (2) cooperative and competitive, (3) coalescent and competitive dan (4) strictly coalescent.

4.      Berdasarkan Kekuatan Relatif  dan Jarak Ideologi
Kriteria sistem kepartaian berdasarkan jumlah tetap penting tetapi harus diingat sejauhmana partai itu mempengaruhi efek dalam kompetisi partai. Partai yang kursinya tidak pernah dibutuhkan dianggap tidak relevan. Sementara itu partai, besar atau kecil menjadi relevan ketika keberadaan mereka mengubah arah kompetisi partai ke arah kiri atau kanan.
Sartori membagi sistem kepartaian berdasarkan pendekatan ini menjadi 7 kategori yang dapat dirangkum kedalam 2 kategori besar, yaitu Pertama, sistem non kompetitif meliputi sistem partai tunggal dan partai hegemonik seperti yang pernah terjadi saat Orde Baru. Kedua adalah sistem kompetitif yang terdiri dari sistem dua partai, pluralisme terbatas/ moderat, pluralism ekstrim, dan atomik. Dalam sistem ini negara melalui konstitusi melindungi hak-hak partai politik untuk menjalankan fungsinya.[4]

Mainwaring berpendapat bahwa negara yang memakai sistem pemerintahan presidensiil seperti Indonesia tidak cocok menggunakan sistem multi partai,[5] karena Pertama, presidensialisme multi partai cenderung menghasilkkan imobilitas dan jalan buntu (deadlock) antara eksekutif dengan legislatif yang itu kemudian membuat destabilitas demokrasi. Kedua, multi partai menghasilkan polarisasi ideologi dari pada bipartai. Ketiga, dalam presidensialisme multi partai akan kesulitan membangun koalisi inter partai.
Sehingga dari beberapa sistem kepartaian diatas, sistem yang paling ideal untuk diterapkan di Indonesia adalah sistem yang jumlah partai tidak boleh terlalu banyak, akan tetapi karena melihat keberagaman yang ada di Indonesia maka sistem dua partai akan sulit untuk dibuat, sehingga jalan tengah dari kedua pertentangan tersebut maka dibentuklah sistem multi partai sederhana karena sistem tersebut yang paling cocok untuk Indonesia.
Sistem multi partai sederhana mengarah kepada sistem kepartaian yang bersifat kompetitif. Artinya Indonesia tidak menerapkan partai tunggal dan mencegah adanya partai yang menghegemonik. Menurut Ganjar Pranowo sistem multi partai sederhana jumlah partai tidak kurang dari 5 dan tidak boleh lebih dari 10. Selain itu sistem multi partai akan efektif apabila walaupun terdapat banyak partai akan tetapi yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan hanya beberapa partai saja, dengan kata lain koalisi diparlemen sangat dibutuhkan untuk pengambilan keputusan.[6]
Dari beberapa argumentasi tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri sistem multi partai sederhana (1) Sistem kepartaian yang bersifat kompetitif, (2) Jumlah partai politik yang terdapat diparlemen  hanya sekitar 5 partai saja, (3) Walau ada banyak jumlah partai di parlemen tapi hanya beberapa partai saja yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen.  
Guna mencapai hal tersebut diperlukanlah metode pembentukan sistem kepartaian. Pembentukan sistem kepartaian dapat dilakukan dengan pendekatan institusional. Pendekatan ini dibangun dengan asumsi utama bahwa sistem kepartaian dikonstruksi oleh desain sistem Pemilu yang dikenal dengan pendekatan Duverger atau dapat pula dibentuk melalui pendekatan sosiologis dengan kondisi yang terbentuk di masyarakat. [7]
Perubahan sistem multi partai melalui desain sistem Pemilu dapat dilakukan dengan beberapa cara. Merubah persyaratan maupun penerapan ambang batas merupakan beberapa cara yang dapat dilakukan. Pengetatan persyaratan dan penerapan electoral threshold diterapkan bertujuan untuk membuat peserta Pemilu menjadi lebih sedikit dan akan berdampak pula pada partai yang akan lolos dan mendapat kursi di parlemen. Sehingga dengan demikian akan dapat merubah sistem kepartaian yang ada berdasar jumlah fraksi yang ada.







[1] Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktek di Indonesia, Op.cit, hal 42
[5] Mainwaring, Presidentialisme, Multy Party System and Democracy, di dalam  Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktek di Indonesia, Op.cit, hal 55
[6] Wawancara dengan Bapak Ganjar Pranowo, Op.cit
[7] Duverger Maurice, Partai Politik dan Kelompok Penekan, didalam Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktek di Indonesia, Op.cit, hal 51

Sistem Demokrasi Indonesia


     


    Gagasan dan pemikiran mengenai sistem bernegara telah menjadi perhatian umat manusia sejak peradaban manusia mempraktikan bentuk awal organisasi negara, hal itu merefleksikan dua kesadaran penting yaitu, pertama keberadaan manusia dan masyarakat tidak mungkin lepas dari organisasi kekuasaan yang memenuhi sifat sebagai negara. Kedua, Negara harus diselenggarakan untuk memenuhi tujuan ideal bagi manusia dan masyarakat, karena dalam prakteknya tidak jarang Negara justru merugikan bahkan mengorbankan kemanusiaan dan peradaban. [1]
   Saat ini sistem yang banyak digunakan oleh dunia adalah sistem negara demokrasi, salah satunya adalah Indonesia. Pengertian Demokrasi menurut bahasa (etimologi) berasal dari bahasa Yunani demos artinya rakyat dan kratein artinya pemerintah. Hal ini berarti kekuasaan tertinggi (pemerintah) dipegang oleh rakyat. Sedangkan Demokrasi menurut istilah (terminologi), para ahli seperti : Abraham Lincoln, Joseph A. Schmeter, Sidney Hook, Schmitter, Terry Lynn Karl,[2] mempunyai pendapat yang berbeda-beda, namun pada hakikatnya Demokrasi mengandung pengertian:
·         Pemerintahan dari rakyat (government of the people)
·         Pemerintahan oleh rakyat (government by people)
·         Pemerintahan untuk rakyat (government for people).
Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktifitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara. Moh. Mahfud MD, mengatakan terdapat dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, demokrasi dijadikan asas yang fundamental, artinya demorkasi harus dijadian sesuatu yang penting untuk menjalankan suatu negara dan kedua, demokrasi secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.[3]

B.1. Sistem Demokrasi Terpimpin

Dengan telah ditetapkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 1959 – Dekrit Presiden Republik Indonesia/ Panglima tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang diktum keduanya menentukan :
“Menetapkan undang-undang dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara”

Dari sinilah dimulainya demokrasi terpimpin, demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Namun ada klausula lain apabila dengan musyawarah – perwakilan itu suatu masalah yang dibahas itu tidak dapat menghasilkan suatu keputusan maka keputusan masalah yang sedang dibahas itu diserahkan kepada pimpinan. Dengan demikian keputusan terhadap suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah akan menjadi wewenang dari pimpinan yaitu Ir Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia.[4]
 
Dengan memahami uraian diatas, maka demokrasi terpimpin ternyata bukan demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan melainkan demokrasi yang dipimpin oleh pemimpin, oleh seorang individu yaitu Presiden Republik Indonesia. Istilah demokrasi dalam demokrasi terpimpin tersebut ternyata mengandung kontradiksi baik dalam makna maupun dalam implementasinya.
  
B.2. Sistem Demokrasi Pancasila

Setelah berhentinya Orde Lama dan keluarnya Surat Perintah Presiden Republik Indonesia tertanggal 11 Maret 1966 (supersemar) yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat, dari atas nama Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pimpinan Besar Revolusi. Surat perintah 11 Maret 1966 itu merupakan kunci pembuka babak baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia yang disebut sebagai Orde Baru.
Orde Baru identik dengan Pemerintahan Suharto, hal itu dapat dipahami karena selama 32 (tiga puluh dua) tahun Soeharto memimpin pemerintahan dan tidak ada presiden lain selain dirinya saat Orde Baru. Oleh karena sebagai penguasa tunggal yang tak pernah tergantikan, maka masa ini sering disebut sebagai rezim Soeharto. Sedangkan arah demokrasi yang dibawa pada masa pemerintahan Orde Baru adalah Demokrasi Pancasila dengan konsep yang sangat abstrak.[5]  
Tanggal 21 Maret 1966 menandai dianutnya dan dilaksanakannya sistem Demokrasi Pancasila saat sidang ke IV dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) RI Nomor IX/MPRS/1966. Makna Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berwawasan Pancasila, yaitu demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka dapat disimpulkan bahwa Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang berdasarkan atas nilai-nilai Pancasila.

B.3. Sistem Demorkasi Konstitusional

Setelah runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 maka agenda terbesar bangsa Indonesia adalah mengadakan reformasi, salah satunya adalah reformasi konstitusi. Dalam reformasi konstitusi tersebut termuat bahwa selain negara demokrasi Indonesia juga merupakan negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1 UUD NRI 1945, sehingga sistem demokrasi Indonesia dikenal dengan sistem demokrasi berdasarkan hukum atau secara sederhana disebut sebagai negara demokrasi konstitusional. Didalam negara demokrasi konstitusional antara demokrasi dan nomokrasi saling melengkapi dan saling menutupi kelemahan masing-masing.
      Demokrasi dipilih karena berlandaskan pada martabat dan kesederajatan manusia. Nilai-nilai kemanusiaan ini juga menjadi penting tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Namun sistem demokrasi yang terlalu menyandarkan pada suara mayoritas dapat tergelincir pada tirani ataupun anarki yang justru merugikan prinsip kemanusiaan yang hendak ditegakan.[6]
      Dilain hal, hukum yang berfungsi sebagai pembatasan kekuasaan dalam demokrasi konstitusional ternyata juga dimaksudkan sebagai legitimasi bagi kekuasaan itu sendiri. Oleh karena itu hukum juga berpotensi melahirkan penyelewengan, yaitu hukum hanya sebagai legitimasi kekuasaan dan sama sekali tidak sebagai pembatasan kekuasaan. Sehingga untuk membendung potensi tersebut hukum harus dibuat secara demokratis. Artinya normanya harus sesuai dengan nilai dan tujuan demokrasi itu sendiri.
      Dalam konteks penyelenggaraan negara, setidaknya ada tiga aspek utama yang merupakan pelaksanaan demokrasi konstitusional. Ketiga aspek tersebut yaitu penataan hubungan antar lembaga, proses legislasi dan judicial review. Penataan hubungan lembaga pertama bertujuan untuk bernegara, berdemokrasi dan berhukum, ke dua mampu membatasi dan menjaga agar tidak terjadi akumulasi kekuasaan yang dapat dipastikan berujung pada penyalahgunaan kekuasaan, sehingga lahirlah prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan maksud agar antar lembaga Negara saling mengimbangi dan mengawasi satu dengan yang lain.  
      Aspek penting yang kedua dalam rangka berdemokrasi konstitusional adalah pembuatan hukum melalui proses legislasi agar Negara diselenggarakan sesuai dengan kehendak rakyat, hukum yang menjadi dasar penyelenggara harus sesuai dengan kehendak rakyat pula. Hukum yang demikian hanya terwujud jika dibentuk melalui proses legislasi yang demokratis sesuai dengan konstitusi.
      Konstitusi sebagai hukum tertinggi dan tempat prinsip dan norma dasar Negara bermukim, kontitusi sebagai puncak dari sistem hukum nasional. Oleh karena itu untuk menjunjung tinggi konstitusi diperlukan mekanisme untuk menyangga supremasi konstitusi. Disinilah mekanisme judicial review diperlukan sebagai aspek demokrasi konstitusional. Judicial review dalam hal ini seperti penulis paparkan sebelumnya meliputi pengujian konstitusional yang dilakukan oleh MK sedangkan pengujian terhadap aturan yang lebih rendah untuk menegakkan hierarki hukum dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). 
      Gagasan Negara demokrasi konstitusional yang dianut oleh Indonesia saat ini selalu mengalami dinamika, baik dari segi penataan kelembagaan, proses legislasi, maupun judicial review. Dinamika ini terjadi karena berkorelasi dengan kekuasaan yang dinamis sesuai dengan perkembangan gagasan kenegaraan.


[1] Janedri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusiaonal Praktek Ketatanegaraan Indonedia Setelah Perubahaan UUD 1945, Op.cit , hlm.10
[2] Rosianna Nainggolan, 2012, Sistem Demokrasi di Indonesia, http://rosenains. blogspot.com/2012/03/sistem-demokrasi-di-indonesia.html, (27 Desember 2012)
[3] ibid
[4] Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi di Indonesia, BPFE, Yogyakkarta, 2010, hal 39
[5] Wasino, Demokrasi, Dulu, Kini dan Esok, makalah disajikan dalam diskusi sejarah yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Semarang, 30 Maret 2009, hal 15
[6] Janedri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusiaonal Praktek Ketatanegaraan Indonedia Setelah Perubahaan UUD 1945, Op.cit, hal 12