Jumat, 02 Agustus 2013

Sistem Demokrasi Indonesia


     


    Gagasan dan pemikiran mengenai sistem bernegara telah menjadi perhatian umat manusia sejak peradaban manusia mempraktikan bentuk awal organisasi negara, hal itu merefleksikan dua kesadaran penting yaitu, pertama keberadaan manusia dan masyarakat tidak mungkin lepas dari organisasi kekuasaan yang memenuhi sifat sebagai negara. Kedua, Negara harus diselenggarakan untuk memenuhi tujuan ideal bagi manusia dan masyarakat, karena dalam prakteknya tidak jarang Negara justru merugikan bahkan mengorbankan kemanusiaan dan peradaban. [1]
   Saat ini sistem yang banyak digunakan oleh dunia adalah sistem negara demokrasi, salah satunya adalah Indonesia. Pengertian Demokrasi menurut bahasa (etimologi) berasal dari bahasa Yunani demos artinya rakyat dan kratein artinya pemerintah. Hal ini berarti kekuasaan tertinggi (pemerintah) dipegang oleh rakyat. Sedangkan Demokrasi menurut istilah (terminologi), para ahli seperti : Abraham Lincoln, Joseph A. Schmeter, Sidney Hook, Schmitter, Terry Lynn Karl,[2] mempunyai pendapat yang berbeda-beda, namun pada hakikatnya Demokrasi mengandung pengertian:
·         Pemerintahan dari rakyat (government of the people)
·         Pemerintahan oleh rakyat (government by people)
·         Pemerintahan untuk rakyat (government for people).
Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktifitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara. Moh. Mahfud MD, mengatakan terdapat dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, demokrasi dijadikan asas yang fundamental, artinya demorkasi harus dijadian sesuatu yang penting untuk menjalankan suatu negara dan kedua, demokrasi secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.[3]

B.1. Sistem Demokrasi Terpimpin

Dengan telah ditetapkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 1959 – Dekrit Presiden Republik Indonesia/ Panglima tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang diktum keduanya menentukan :
“Menetapkan undang-undang dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara”

Dari sinilah dimulainya demokrasi terpimpin, demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Namun ada klausula lain apabila dengan musyawarah – perwakilan itu suatu masalah yang dibahas itu tidak dapat menghasilkan suatu keputusan maka keputusan masalah yang sedang dibahas itu diserahkan kepada pimpinan. Dengan demikian keputusan terhadap suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah akan menjadi wewenang dari pimpinan yaitu Ir Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia.[4]
 
Dengan memahami uraian diatas, maka demokrasi terpimpin ternyata bukan demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan melainkan demokrasi yang dipimpin oleh pemimpin, oleh seorang individu yaitu Presiden Republik Indonesia. Istilah demokrasi dalam demokrasi terpimpin tersebut ternyata mengandung kontradiksi baik dalam makna maupun dalam implementasinya.
  
B.2. Sistem Demokrasi Pancasila

Setelah berhentinya Orde Lama dan keluarnya Surat Perintah Presiden Republik Indonesia tertanggal 11 Maret 1966 (supersemar) yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat, dari atas nama Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pimpinan Besar Revolusi. Surat perintah 11 Maret 1966 itu merupakan kunci pembuka babak baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia yang disebut sebagai Orde Baru.
Orde Baru identik dengan Pemerintahan Suharto, hal itu dapat dipahami karena selama 32 (tiga puluh dua) tahun Soeharto memimpin pemerintahan dan tidak ada presiden lain selain dirinya saat Orde Baru. Oleh karena sebagai penguasa tunggal yang tak pernah tergantikan, maka masa ini sering disebut sebagai rezim Soeharto. Sedangkan arah demokrasi yang dibawa pada masa pemerintahan Orde Baru adalah Demokrasi Pancasila dengan konsep yang sangat abstrak.[5]  
Tanggal 21 Maret 1966 menandai dianutnya dan dilaksanakannya sistem Demokrasi Pancasila saat sidang ke IV dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) RI Nomor IX/MPRS/1966. Makna Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berwawasan Pancasila, yaitu demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka dapat disimpulkan bahwa Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang berdasarkan atas nilai-nilai Pancasila.

B.3. Sistem Demorkasi Konstitusional

Setelah runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 maka agenda terbesar bangsa Indonesia adalah mengadakan reformasi, salah satunya adalah reformasi konstitusi. Dalam reformasi konstitusi tersebut termuat bahwa selain negara demokrasi Indonesia juga merupakan negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1 UUD NRI 1945, sehingga sistem demokrasi Indonesia dikenal dengan sistem demokrasi berdasarkan hukum atau secara sederhana disebut sebagai negara demokrasi konstitusional. Didalam negara demokrasi konstitusional antara demokrasi dan nomokrasi saling melengkapi dan saling menutupi kelemahan masing-masing.
      Demokrasi dipilih karena berlandaskan pada martabat dan kesederajatan manusia. Nilai-nilai kemanusiaan ini juga menjadi penting tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Namun sistem demokrasi yang terlalu menyandarkan pada suara mayoritas dapat tergelincir pada tirani ataupun anarki yang justru merugikan prinsip kemanusiaan yang hendak ditegakan.[6]
      Dilain hal, hukum yang berfungsi sebagai pembatasan kekuasaan dalam demokrasi konstitusional ternyata juga dimaksudkan sebagai legitimasi bagi kekuasaan itu sendiri. Oleh karena itu hukum juga berpotensi melahirkan penyelewengan, yaitu hukum hanya sebagai legitimasi kekuasaan dan sama sekali tidak sebagai pembatasan kekuasaan. Sehingga untuk membendung potensi tersebut hukum harus dibuat secara demokratis. Artinya normanya harus sesuai dengan nilai dan tujuan demokrasi itu sendiri.
      Dalam konteks penyelenggaraan negara, setidaknya ada tiga aspek utama yang merupakan pelaksanaan demokrasi konstitusional. Ketiga aspek tersebut yaitu penataan hubungan antar lembaga, proses legislasi dan judicial review. Penataan hubungan lembaga pertama bertujuan untuk bernegara, berdemokrasi dan berhukum, ke dua mampu membatasi dan menjaga agar tidak terjadi akumulasi kekuasaan yang dapat dipastikan berujung pada penyalahgunaan kekuasaan, sehingga lahirlah prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan maksud agar antar lembaga Negara saling mengimbangi dan mengawasi satu dengan yang lain.  
      Aspek penting yang kedua dalam rangka berdemokrasi konstitusional adalah pembuatan hukum melalui proses legislasi agar Negara diselenggarakan sesuai dengan kehendak rakyat, hukum yang menjadi dasar penyelenggara harus sesuai dengan kehendak rakyat pula. Hukum yang demikian hanya terwujud jika dibentuk melalui proses legislasi yang demokratis sesuai dengan konstitusi.
      Konstitusi sebagai hukum tertinggi dan tempat prinsip dan norma dasar Negara bermukim, kontitusi sebagai puncak dari sistem hukum nasional. Oleh karena itu untuk menjunjung tinggi konstitusi diperlukan mekanisme untuk menyangga supremasi konstitusi. Disinilah mekanisme judicial review diperlukan sebagai aspek demokrasi konstitusional. Judicial review dalam hal ini seperti penulis paparkan sebelumnya meliputi pengujian konstitusional yang dilakukan oleh MK sedangkan pengujian terhadap aturan yang lebih rendah untuk menegakkan hierarki hukum dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). 
      Gagasan Negara demokrasi konstitusional yang dianut oleh Indonesia saat ini selalu mengalami dinamika, baik dari segi penataan kelembagaan, proses legislasi, maupun judicial review. Dinamika ini terjadi karena berkorelasi dengan kekuasaan yang dinamis sesuai dengan perkembangan gagasan kenegaraan.


[1] Janedri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusiaonal Praktek Ketatanegaraan Indonedia Setelah Perubahaan UUD 1945, Op.cit , hlm.10
[2] Rosianna Nainggolan, 2012, Sistem Demokrasi di Indonesia, http://rosenains. blogspot.com/2012/03/sistem-demokrasi-di-indonesia.html, (27 Desember 2012)
[3] ibid
[4] Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi di Indonesia, BPFE, Yogyakkarta, 2010, hal 39
[5] Wasino, Demokrasi, Dulu, Kini dan Esok, makalah disajikan dalam diskusi sejarah yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Semarang, 30 Maret 2009, hal 15
[6] Janedri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusiaonal Praktek Ketatanegaraan Indonedia Setelah Perubahaan UUD 1945, Op.cit, hal 12

Tidak ada komentar: