Menurut
Pennings sistem kepartaian dapat didefinisikan sebagai struktur kompetisi dan
kerjasama partai politik. Istilah sistem kepartaian pada awalnya ditemukan
dalam karya Duverger tentang ‘Political
Parties’ untuk menggambarkan corak partai politik di beberapa negara.[1]
Sistem kepartaian dapat dilihat dari relasi antara karekteristik tertentu dalam
partai politik, diantaranya jumlah, ukuran perspektif, sekutu, lokasi
geografis, distribusi politik dan sebagainya.
Sebagai suatu
struktur maka untuk menilai suatu sistem kepartaian harus melihat sebuah partai
sebagai suatu unit yang berhubungan dengan partai yang lain, jadi sistem
kepartaian melihat partai bukan sebagai entitas yang terisolasi. Pada sistem
kepartaian, partai adalah entitas yang saling berinteraksi satu sama lainnya.
Dalam upaya memahami
sistem kepartaian telah banyak pendekatan yang berusaha dikembangakan. Secara
garis besar setidaknya terdapat 4 (empat) pendekatan dalam memahami sistem
kepartaian disebuah negara, yaitu :[2]
1.
Berdasarkan Jumlah
Menentukan
sistem kepartaian berdasarkan jumlah merupakan pendekatan yang paling banyak
diterima secara luas untuk digunakan dalam deskriptif komparatif tentang sistem
kepartaian. Berdasarkan pendekatan ini sistem kepartaian dibedakan menjadi
sistem partai tunggal, sistem dua partai dan sistem multi partai.
Pada pendekatan
ini terdapat beberapa variasi dalam menentukan jumlah partai yang relevan di
parlemen. Alan Ware dalam Sigit Pamungkas meniadakan semua partai dengan kurang
dari 3%. Di Indonesia pada tahun 2009 juga menggunakan variasi bahwa partai
yang memperoleh suara dibawah 2.5% ditiadakan dari parlemen.
2.
Berdasarkan Kekuatan Relatif dan
besaran Partai
Melalui
pendekatan ini sistem kepartaian dibedakan menjadi sistem dua partai, sistem
dua setengah partai, sistem multi partai dengan sebuah partai utama dan sistem
multi partai tanpa partai utama. Tipologi diperoleh dengan memperhatikan bagian
rata-rata suara yang dimenangkan oleh dua partai terbesar dan kemudian
mempertimbangkan perbandingan bagian partai pertama pada partai kedua dan
ketiga.
Sistem dua
partai apabila terdapat 2 (dua) partai yang memiliki suara lebih dari 40%,
sistem dua setengah partai adalah ketika bagian dari dua partai bergerak dari
75%-80% suara tapi diantara keduanya terdapat perbedaan rata-rata yang besar
hingga 10%. Sistem multipartai dengan partai dominan adalah ketika terdapat
satu partai besar yang memperoleh suara lebih dari 40% sedangkan yang lainnya
dibawah 40%, dan sistem multipartai tanpa partai dominan adalah apabila tidak
ada partai politik yang mencapai angka 40% perolehan suara.[3]
3.
Berdasarkan Formasi Pemerintahan
Berdasarkan
pendekatan ini, Dahl mengklasifikasikan sistem kepartaian berdasarkan pola koalisi
dan oposisi partai. Berdasarkan pola oposisi partai di arena electoral dan
legislative, terdapat 4 (empat) skema sistem kepartaian, yaitu pola oposisi
dengan (1) strictly competitive, (2) cooperative and competitive, (3) coalescent
and competitive dan (4) strictly
coalescent.
4.
Berdasarkan Kekuatan Relatif dan Jarak Ideologi
Kriteria sistem
kepartaian berdasarkan jumlah tetap penting tetapi harus diingat sejauhmana
partai itu mempengaruhi efek dalam kompetisi partai. Partai yang kursinya tidak
pernah dibutuhkan dianggap tidak relevan. Sementara itu partai, besar atau
kecil menjadi relevan ketika keberadaan mereka mengubah arah kompetisi partai
ke arah kiri atau kanan.
Sartori membagi
sistem kepartaian berdasarkan pendekatan ini menjadi 7 kategori yang dapat
dirangkum kedalam 2 kategori besar, yaitu Pertama, sistem non kompetitif
meliputi sistem partai tunggal dan partai hegemonik seperti yang pernah terjadi
saat Orde Baru. Kedua adalah sistem kompetitif yang terdiri dari sistem dua
partai, pluralisme terbatas/ moderat, pluralism ekstrim, dan atomik. Dalam
sistem ini negara melalui konstitusi melindungi hak-hak partai politik untuk
menjalankan fungsinya.[4]
Mainwaring berpendapat bahwa negara yang memakai
sistem pemerintahan presidensiil seperti Indonesia tidak cocok menggunakan sistem
multi partai,[5]
karena Pertama, presidensialisme multi partai cenderung menghasilkkan
imobilitas dan jalan buntu (deadlock)
antara eksekutif dengan legislatif yang itu kemudian membuat destabilitas
demokrasi. Kedua, multi partai menghasilkan polarisasi ideologi dari pada
bipartai. Ketiga, dalam presidensialisme multi partai akan kesulitan membangun
koalisi inter partai.
Sehingga dari beberapa sistem kepartaian diatas,
sistem yang paling ideal untuk diterapkan di Indonesia adalah sistem yang jumlah
partai tidak boleh terlalu banyak, akan tetapi karena melihat keberagaman yang
ada di Indonesia maka sistem dua partai akan sulit untuk dibuat, sehingga jalan
tengah dari kedua pertentangan tersebut maka dibentuklah sistem multi partai
sederhana karena sistem tersebut yang paling cocok untuk Indonesia.
Sistem multi partai sederhana mengarah kepada sistem
kepartaian yang bersifat kompetitif. Artinya Indonesia tidak menerapkan partai
tunggal dan mencegah adanya partai yang menghegemonik. Menurut Ganjar Pranowo
sistem multi partai sederhana jumlah partai tidak kurang dari 5 dan tidak boleh
lebih dari 10. Selain itu sistem multi partai akan efektif apabila walaupun terdapat
banyak partai akan tetapi yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan hanya
beberapa partai saja, dengan kata lain koalisi diparlemen sangat dibutuhkan
untuk pengambilan keputusan.[6]
Dari beberapa argumentasi tersebut dapat disimpulkan
bahwa ciri-ciri sistem multi partai sederhana (1) Sistem kepartaian yang
bersifat kompetitif, (2) Jumlah partai politik yang terdapat diparlemen hanya sekitar 5 partai saja, (3) Walau ada
banyak jumlah partai di parlemen tapi hanya beberapa partai saja yang dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen.
Guna mencapai hal tersebut diperlukanlah metode
pembentukan sistem kepartaian. Pembentukan sistem kepartaian dapat dilakukan
dengan pendekatan institusional. Pendekatan ini dibangun dengan asumsi utama
bahwa sistem kepartaian dikonstruksi oleh desain sistem Pemilu yang dikenal dengan
pendekatan Duverger atau dapat pula dibentuk melalui pendekatan sosiologis
dengan kondisi yang terbentuk di masyarakat. [7]
Perubahan sistem multi partai melalui desain sistem
Pemilu dapat dilakukan dengan beberapa cara. Merubah persyaratan maupun
penerapan ambang batas merupakan beberapa cara yang dapat dilakukan. Pengetatan
persyaratan dan penerapan electoral
threshold diterapkan bertujuan untuk membuat peserta Pemilu menjadi lebih
sedikit dan akan berdampak pula pada partai yang akan lolos dan mendapat kursi
di parlemen. Sehingga dengan demikian akan dapat merubah sistem kepartaian yang
ada berdasar jumlah fraksi yang ada.
[5] Mainwaring, Presidentialisme, Multy Party System and
Democracy, di dalam Sigit
Pamungkas, Partai
Politik Teori dan Praktek di Indonesia, Op.cit, hal 55
[6] Wawancara dengan Bapak Ganjar Pranowo, Op.cit
[7] Duverger Maurice, Partai
Politik dan Kelompok Penekan, didalam Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktek di Indonesia, Op.cit, hal 51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar