Gagasan dan
pemikiran mengenai sistem bernegara telah menjadi perhatian umat manusia sejak
peradaban manusia mempraktikan bentuk awal organisasi negara, hal itu
merefleksikan dua kesadaran penting yaitu, pertama keberadaan manusia dan
masyarakat tidak mungkin lepas dari organisasi kekuasaan yang memenuhi sifat
sebagai negara. Kedua, Negara harus diselenggarakan untuk memenuhi tujuan ideal
bagi manusia dan masyarakat, karena dalam prakteknya tidak jarang Negara justru
merugikan bahkan mengorbankan kemanusiaan dan peradaban.
Saat ini sistem yang banyak digunakan oleh
dunia adalah sistem negara demokrasi, salah satunya adalah Indonesia.
Pengertian Demokrasi menurut bahasa (etimologi) berasal dari bahasa Yunani demos artinya rakyat dan kratein artinya pemerintah. Hal ini
berarti kekuasaan tertinggi (pemerintah) dipegang oleh rakyat. Sedangkan
Demokrasi menurut istilah (terminologi), para ahli seperti : Abraham Lincoln,
Joseph A. Schmeter, Sidney Hook, Schmitter, Terry Lynn Karl,
mempunyai pendapat yang berbeda-beda, namun pada hakikatnya Demokrasi
mengandung pengertian:
·
Pemerintahan dari rakyat (government of the people)
·
Pemerintahan oleh rakyat (government by people)
·
Pemerintahan untuk rakyat (government for people).
Demokrasi
sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan
aktifitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara. Moh. Mahfud MD,
mengatakan terdapat dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem
bermasyarakat dan bernegara. Pertama,
demokrasi dijadikan asas yang fundamental, artinya demorkasi harus dijadian
sesuatu yang penting untuk menjalankan suatu negara dan kedua, demokrasi secara esensial telah memberikan arah bagi peranan
masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.
B.1. Sistem Demokrasi Terpimpin
Dengan telah
ditetapkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 1959 –
Dekrit Presiden Republik Indonesia/ Panglima tertinggi Angkatan Perang tentang
Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang diktum keduanya menentukan :
“Menetapkan undang-undang dasar
1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah
Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak
berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara”
Dari sinilah
dimulainya demokrasi terpimpin, demokrasi yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Namun ada klausula lain apabila
dengan musyawarah – perwakilan itu suatu masalah yang dibahas itu tidak dapat
menghasilkan suatu keputusan maka keputusan masalah yang sedang dibahas itu
diserahkan kepada pimpinan. Dengan demikian keputusan terhadap suatu masalah
yang tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah akan menjadi wewenang dari
pimpinan yaitu Ir Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia.
Dengan memahami
uraian diatas, maka demokrasi terpimpin ternyata bukan demokrasi yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan melainkan demokrasi
yang dipimpin oleh pemimpin, oleh seorang individu yaitu Presiden Republik
Indonesia. Istilah demokrasi dalam demokrasi terpimpin tersebut ternyata
mengandung kontradiksi baik dalam makna maupun dalam implementasinya.
B.2. Sistem Demokrasi Pancasila
Setelah berhentinya
Orde Lama dan keluarnya Surat Perintah Presiden Republik Indonesia tertanggal
11 Maret 1966 (supersemar) yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto,
Menteri Panglima Angkatan Darat, dari atas nama Presiden/ Panglima Tertinggi/
Pimpinan Besar Revolusi. Surat perintah 11 Maret 1966 itu merupakan kunci pembuka
babak baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia yang disebut sebagai Orde
Baru.
Orde Baru identik dengan Pemerintahan Suharto, hal itu dapat dipahami
karena selama 32 (tiga puluh dua) tahun Soeharto memimpin pemerintahan dan
tidak ada presiden lain selain dirinya saat Orde Baru. Oleh karena sebagai
penguasa tunggal yang tak pernah tergantikan, maka masa ini sering disebut
sebagai rezim Soeharto. Sedangkan arah demokrasi yang dibawa pada masa
pemerintahan Orde Baru adalah Demokrasi Pancasila dengan konsep yang sangat
abstrak.
Tanggal 21 Maret
1966 menandai dianutnya dan dilaksanakannya sistem Demokrasi Pancasila saat
sidang ke IV dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
RI Nomor IX/MPRS/1966. Makna Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berwawasan
Pancasila, yaitu demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan
yang adil dan beradab, ber-Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka dapat disimpulkan bahwa Demokrasi Pancasila
merupakan demokrasi yang berdasarkan atas nilai-nilai Pancasila.
B.3. Sistem Demorkasi Konstitusional
Setelah
runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 maka agenda terbesar bangsa Indonesia
adalah mengadakan reformasi, salah satunya adalah reformasi konstitusi. Dalam
reformasi konstitusi tersebut termuat bahwa selain negara demokrasi Indonesia
juga merupakan negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1 UUD NRI 1945, sehingga
sistem demokrasi Indonesia dikenal dengan sistem demokrasi berdasarkan hukum
atau secara sederhana disebut sebagai negara demokrasi konstitusional. Didalam
negara demokrasi konstitusional antara demokrasi dan nomokrasi saling
melengkapi dan saling menutupi kelemahan masing-masing.
Demokrasi
dipilih karena berlandaskan pada martabat dan kesederajatan manusia.
Nilai-nilai kemanusiaan ini juga menjadi penting tujuan hukum yaitu keadilan,
kepastian dan kemanfaatan. Namun sistem demokrasi yang terlalu menyandarkan
pada suara mayoritas dapat tergelincir pada tirani ataupun anarki yang justru
merugikan prinsip kemanusiaan yang hendak ditegakan.
Dilain
hal, hukum yang berfungsi sebagai pembatasan kekuasaan dalam demokrasi
konstitusional ternyata juga dimaksudkan sebagai legitimasi bagi kekuasaan itu
sendiri. Oleh karena itu hukum juga berpotensi melahirkan penyelewengan, yaitu
hukum hanya sebagai legitimasi kekuasaan dan sama sekali tidak sebagai
pembatasan kekuasaan. Sehingga untuk membendung potensi tersebut hukum harus
dibuat secara demokratis. Artinya normanya harus sesuai dengan nilai dan tujuan
demokrasi itu sendiri.
Dalam
konteks penyelenggaraan negara, setidaknya ada tiga aspek utama yang merupakan
pelaksanaan demokrasi konstitusional. Ketiga aspek tersebut yaitu penataan
hubungan antar lembaga, proses legislasi dan
judicial review. Penataan hubungan lembaga pertama bertujuan untuk
bernegara, berdemokrasi dan berhukum, ke dua mampu membatasi dan menjaga agar
tidak terjadi akumulasi kekuasaan yang dapat dipastikan berujung pada
penyalahgunaan kekuasaan, sehingga lahirlah prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan maksud agar
antar lembaga Negara saling mengimbangi dan mengawasi satu dengan yang
lain.
Aspek
penting yang kedua dalam rangka berdemokrasi konstitusional adalah pembuatan
hukum melalui proses legislasi agar Negara diselenggarakan sesuai dengan
kehendak rakyat, hukum yang menjadi dasar penyelenggara harus sesuai dengan
kehendak rakyat pula. Hukum yang demikian hanya terwujud jika dibentuk melalui
proses legislasi yang demokratis sesuai dengan konstitusi.
Konstitusi
sebagai hukum tertinggi dan tempat prinsip dan norma dasar Negara bermukim,
kontitusi sebagai puncak dari sistem hukum nasional. Oleh karena itu untuk
menjunjung tinggi konstitusi diperlukan mekanisme untuk menyangga supremasi
konstitusi. Disinilah mekanisme judicial
review diperlukan sebagai aspek demokrasi konstitusional. Judicial review dalam hal ini seperti
penulis paparkan sebelumnya meliputi pengujian konstitusional yang dilakukan
oleh MK sedangkan pengujian terhadap aturan yang lebih rendah untuk menegakkan
hierarki hukum dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
Gagasan
Negara demokrasi konstitusional yang dianut oleh Indonesia saat ini selalu
mengalami dinamika, baik dari segi penataan kelembagaan, proses legislasi,
maupun judicial review. Dinamika ini
terjadi karena berkorelasi dengan kekuasaan yang dinamis sesuai dengan
perkembangan gagasan kenegaraan.